Jumat, 19 Oktober 2012

Benarkah Indonesia (tiadak) Merdeka?



Jakarta Seperti biasa, setiap tahunnya semarak kemerdekaan selalu diisi dengan berbagai kegiatan, mulai upacara bendera hingga pesta rakyat, seperti aneka perlombaan tradisional.

Di sepanjang jalan tidak ketinggalan berwarna-warni umbul-umbul dan pernak pernih bernada "Jargon Merdeka" tak berujung surut dipandang sehingga merias wajah hari kemerdekaan menjadi lebih bergema dan semarak.

Sepanjang gemerlap kemerdekaan itulah, maka sudahpun 66 tahun Nusantara merasakan hawa kebebasan dan sepanjang itulah keutuhan secara politik dan ekonomi dipegang utuh sebagai landasan menuju pencapaian kesejahteraan rakyat Indonesia.

Amanat UUD 1945 dalam pembukaannya menyebutkan bahwa "Negara menjamin kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia" dan ayat itu terukir indah sebagai tujuan nasional sehingga harus terasakan oleh setiap anak bangsa Indonesia.

Namun demikian, semarak kemerdekaan apakah cukup hanya dimaknai sebagai kemerdekaan secara lahiriah bukan secara sebenarnya.

Phillippe Diaz dalam bukunya "The End of Poverty" mengatakan bahwa "kemerdekaan adalah kemampuan Negara dalam mensejahterakan dan memperjuangkan rakyatnya sehingga secara naluriah rakyat merasakan kemerdekaan yang sebenarnya".

Tepat kiranya bila momentum hari kemerdekaan bukan dirayakan namun dimaknai sebagai peringatan bagi Negara khususnya pemimpin, suda hkah anak bangsa memperoleh hak-haknya secara layak di alam kemerdekaan ini.

Potret Kemerdekaan ala Indonesia

Kemerdekaan tidak hanya upacara dan slogan serta pekikan semangat, namun lebih penting adalah kehidupan rakyat yang menjadi objek kemerdekaan apakah semakin baik atau sebaliknya.

Menilik 66 tahun kemerdekaan, Nampak mudah menilai arti kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Jika kemerdekaan dipandang sebagai pintu gerbang kesejahteraan, maka indicator ekonomi dapat menjadi salah satu tinjauan yang tidak terbantahkan dan menarik dalam mendefinikan arti "merdeka".

Potret kemerdekaan bila diteropong secara ekonomi, maka masih menyisakan 30 juta penduduk miskin atau sekitar 12,49% dari total 236,7 juta penduduk berdasarkan sensus tahun 2010.

Berdasarkan jumlah di atas, 11,1 juta atau 9,87% hidup di perkotaan dan 19,93 juta atau 16,56% adalah penduduk pedesaan. Walaupun secara perhitungan terus menunjukkan tren yang menurun, namun apakah ini makna kemerdekaan itu dimana masih ada 30 juta anak bangsa yang belum menikmati "kue" kemerdekaan dari bumi nusantara yang notabene adalah jamrud khatulistiwa, dan 'gemah ripah loh jinawi' ini.

Selanjutnya, bilamana kita spesialisasikan lagi isu kemiskinan ini, maka akan lebih menyedihkan hati sebagai anak bangsa, dimana berdasarkan data Bank Dunia tahun 2010 menyebutkan masih ada 43,3% (102 juta) anak bangsa yang hidup dengan penghasilan antara US$1,25-US$2 atau sekitar Rp 17,000 per hari, kemudian 56,5% (134 juta) dengan penghasilan US$2-US$20 per hari atau sekilar maksimal Rp 170,000 per hari, sedang kan dasyatnya, hanya 0,2% atau 500 ribu orang berpenghasilan di atas US$20.

Sungguh merdekanya negeri ini dalam keironian karena hanya mampu mensejahterakan kurang dari 1 persen warganya. Berdasarkan fakta di atas, nampak bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia Raya sangatlah tinggi dan melebar sepanjang waktu.

Fakta kesejangan ekonomi yang semakin tinggi ini juga terungkap dalam sebuah pengukuran menggunakan indicator kesenjangan ekonomi dimana diperoleh angka bahwa pada tahun 1964 indeks kesenjangan ekonomi sebesar 0,35. Dalam konteks ini, semakin indeks mendekati 0, maka dikatakan kesenjangan ekonomi semakin melebar dan sebaliknya.

Selanjutnya pada tahun 2007, diperoleh angka bahwa indeks kesenjangan di Indonesia sebesar 0,36. Betapa hebatnya Indonesia, dalam kurun waktu 60 tahun praktis kesenjangan ekonomi tidak bergeming.

Inikah yang kemudian menggambarkan secara riil bahwa semakin sulitnya kehidupan rakyat di republik yang kita cintai ini. Namun kembali kita bertanya, inikah kemerdekaan yang kita maksudkan? Dimanakah "merdeka" yang dipekikkan oleh pemimpin kita setiap tahunnya?

Disamping fakta kemiskinan, fakta lain yang bisa kita jadikan renungan adalah tingkat pengangguran penduduk. Secara rasional, seseorang dalam kondisi tidak memiliki pekerjaan maka akan melahirkan masalah-masalah sosial lainnya seperti kriminalitas, kemiskinan, dan keterbelakangan tingkat pendidikan.

Berdasarkan data BPS tahun 2009, diperoleh bahwa tingkat pengangguran terbuka, artinya penduduk usia kerja yang tidak terserap dalam lapangan kerja sekitar 8,1% atau sekitar 19 juta jiwa walaupun trennya dari tahun ke tahun semakin berkurang.

Namun, bila kita tinjau lagi secara kritis, penduduk usia kerja yang bekerja di sektor informal terus mengalami peningkatan berbanding yang bekerja di sektor formal. Per tahun 2006, data menunjukkan bahwa sektor informal berkontribusi sekitar 69,5% berbanding 30,5% pada struktur perekonomian nasional.

Hal ini memberikan kebenaran bahwa Negara belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai dan layak bagi warganya sehingga tenaga-tenaga produktif termarginalkan dan jatuh dalam kubangan sektor informal. Kembali kita renungkan, apakah ini yang dimaksud dengan kemerdekaan itu?

Fakta kemiskinan dan pengangguran di atas setidaknya memberikan gambaran bahwa proses kemerdekaan sejati belumlah mencapai jalur yang sebenarnya.

Dua indikasi di atas juga menginformasikan mengenai penjajahan rakyat Indonesia dari sisi dalam negeri atau domestik. Memanglah harus diakui bahwa penjajahan Indonesia juga hadir dari sisi luar negeri yang diwujudkan salah satunya melalui pemberian utang atau pinjaman luar negeri.

Walaupun eksistensi hutang mengundang debat antara menguntungkan atau merugikan, namun paling tidak besaran hutang dan sumber hutang mencitrakan sejauh mana Indonesia bergantung dan tidak mandiri dalam pengelolaan ekonomi.

Pada tahun 1996, laporan World Bank menyebutkan bahwa jumlah total utang Indonesia mencapai US$ 128,941 miliar, dimana 50% nya adalah hutang pemerintah.

Selanjtutnya, berdasarkan statistik hutang Departemen Keuangan melaporkan bahwa per Desember 2010, total hutang telah mencapai US$200,05 miliar, dimana 58,29% merupakan hutang pemerintah dan bank sentral, sementara 41,71% merupakan hutang swasta.

Lebih lanjut, posisi hutang luar negeri Indonesia menurut sumbernya atau kreditur menunjukkan bahwa didominasi oleh kreditur bilateral (creditor's country) dibandingkan kreditur multinasional, sekitar 67,4% berbanding 13,3% per desember 2010.

Lebih lanjut, dari 67,4% tersebut kreditur dari Jepang menjadi kreditur utama yakni sekitar 20,8%. Dengan demikian, Indonesia memiliki kewajiban hutang ke Jepang sekitar US$41,64 miliar dari total US$ 200,05 miliar.

Dan khusus untuk pinjaman dari Jepang, hingga November 2009, Jepang telah memberikan komitmennya kepada Indonesia sebesar US$ 24 mi liar, dengan suku bunga maksimal 1,4% dengan jangka waktu 30 tahun.

Dengan demikian, anak bangsa harus membayar bunganya per tahun selama 30 tahun sebesar US$ 336 juta kepada Jepang. Kembali kita merenung, apakah ini kemerdekaan yang sebenarnya?

Kemerdekaan masihlah harapan

Berdasarkan sekelumit fakta-fakta di atas, sungguh ironi kemerdekaan yang sudah kita kecapi selama 66 tahun ini. Memperingati kemerdekaan apakah juga kita berarti memperingati kenyataan semakin sulitnya kehidupan kaum miskin, sulitnya lapangan kerja, dan semakin bergantungnya pada sektor luar negeri?

Semua fakta di atas hanya akan selesai bila segenap pemimpin bangsa, khususnya, kembali menghayati dan menyelami semangat kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam kaidah dasar Negara, Pancasila dan UUD 1945.

Kembalinya sosok pemimpin yang cinta kepada rakyatnya sungguh dinantikan oleh republik tercinta. Kembalinya sosok pemimpin yang menjadi teladan dan amanah pada perjuangan memerdekakan rakyat kecil dan miskin sangat dirindukan.

Semoga dengan momentum Bulan Suci Ramadhan ini pula memberikan berkah bagi Republik Indonesia yakni Indonesia yang lebih baik, maju, bermartabat, serta sebenar "merdeka".

Akhirnya, pada hari kemedekaan, 17 Agustus 2011, segenap rakyat Indonesia, berhar ap dan meratap akan hadirnya "kemerdekaan" yang sebenarnya di bumi persada Nusantara jaya, Indonesia Raya. Semoga…..

*Penulis adalah Kandidat Master Ekonomi, International Islamic University Malaysia, Wakil Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia-Malaysia


Dimas Kusuma
Selangor, Gombak
dimas_economist@yahoo.com
+60-102906105

(wwn/wwn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar